Kabar Lokal -Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia (KRI) kecewa oknum pendeta di Kota Pontianak diduga tidak ditahan Polresta Pontianak, lantaran telah melakukan pencabulan terhadap siswi SMK dan meminta korbannya untuk aborsi.
Direktur LBH KRI, Eka Kurnia Chrislianto mengatakan oknum pendeta yang melakukan perbuatan cabul tersebut memiliki beberapa jabatan diantaranya Ketua Komisi Pendidikan Menengah Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, anggota FKUB Kota Pontianak dan juga seorang dosen.
Eka kecewa lantaran oknum pendeta yang aktif dibeberapa organisasi dan memiliki jabatan penting di dalam dunia pendidikan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan keji yang telah diperbuat oknum pendeta tersebut.
“Ini mengejutkan, lagi-lagi dunia pendidikan dihebohkan dengan pemberitaan ada seorang siswi yang mengalami Kekerasaan Seksual (KS) yang dilakukan oleh seorang tenaga pendidik yang mana memiliki jabatan sebagai,” kata Eka Kurnia, Jumat (18/8/2023).
Menurut Eka, ada banyak undang-undang yang dapat digunakan penyidik, seperti undang-undang tentang perlindungan anak, undang-undang tentang kesehatan disamping undang-undang tentang tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan lex specialis yaitu hukum yang bersifat khusus.
Namun sepertinya hal itu tidak berlaku kepada oknum pendeta tersebut. Oleh karena itu, ketika Eka mengetahui terduga tersangka tidak ditahan, dirinya sangat mengecewakan. Meski kewenangan tersebut menjadi hak bagi penyidik berdasarkan syarat-syarat baik subjektif dan objektif penahanan.
“Ya, kami melihat adanya penangguhan penahanan. Dasarnya pasal 31 ayat (1) KUHAP, itu atas permintaan yang bersangkutan tapi soal diterima atau tidak itu kewenangan penyidik, apa pertimbangannya. Tapi, kita kecewa hingga hari ini belum ada klarifikasi yang clear terlebih yang bersangkutan orang yang punya pengaruh dan bukan orang sembarangan,” ungkap Eka.
Eka juga menjelaskan bahwa hal seperti ini memang bukanlah hal yang baru, mengingat bahwa standar nilai/moral yang dipakai oleh masyarakat Indonesia dalam memperlakukan perempuan selalu dilihat dari sudut pandang laki-laki.
Oleh karena itu, menurut Eka perlu dilakukan analisa mendalam terhadap isu yang berkaitan dengan konteks dimana kaum perempuan dan perilaku perempuan secara sosial didefinisikan dan dikontrol dalam suatu kebijakan, aturan, sosial budaya dan politik dalam suatu negara hingga akhirnya itu juga mempengaruhi proses penegakan hukum.
“Harapan kami proses penegakan hukum objektif dan mengedepankan perspektif korban. Itu yang dari awal kami belum lihat, perspektif yang pro terhadap korban dalam proses. Karena mereka yang bicara tentang keadilan bagi korban, tetapi pada saat yang sama cenderung menampilkan sikap patriarkis dengan abai pada politik hukum dalam prosesnya. Karena patriarkisme dapat dipraktikkan siapa saja,” tutup Eka.